Bagi
sebagian orang, keimanan merupakan hal yang nyata, yang dengannya mereka hidup
dengan pandangan yang diberikannya dan karenanya mereka dipanggil dengan
sebutan ‘orang-orang yang beruntung’ atau ‘orang-orang yang berbahagia,’ dan
tujuan akhir mereka adalah surga.
Bagi
sebagian yang lain, keimanan tidak dikodekan dalam program penciptaannya, dan
karenanya hidup dengan pandangan tanpa iman dan dipanggil dengan sebutan
‘tidak-beruntung’ atau ‘tidak-bahagia’ – tujuan akhirnya adalah neraka dan
hidup mereka akan berlanjut dengan penderitaan.
Keimanan
yang melekat dalam penciptaan seseorang cepat atau lambat akan membuat orang
tersebut menyadari bahwa Allah adalah penciptta dari segala peristiwa dan
tindakan, dan karenanya akan mengakhiri penderitaannya. Mari mengingat ayat:
“Ketahuilah dengan yakin bahwa kesadaran mendapatkan kepuasan dengan mengingat
Allah (dzikrullah; mengingat realitas esensial diri atau diri asli, yakni
Allah, yang menyusun esensi dari segala sesuatu dengan Nama-namaNya)!”
Keimanan
itu berdasarkan pada bagaimana cara otak terkoneksi; itu berkenaan dengan sudah
atau belumnya bagian dari otak tersebut diaktifkan. Bahkan, saya merasa yakin
bahwa ada gen yang berkaitan dengan keimanan!
Jika otak
menafsirkan sebuah situasi dengan pancaran iman, penilaiannya akan sangat
berbeda dibanding dengan orang yang menafsirkannya tanpa iman!
Jika otak
menafsirkan sebuah situasi dengan pancaran iman, penilaiannya akan sangat
berbeda dibanding dengan orang yang menafsirkannya tanpa iman!
Secara
umum, sebagaimana halnya kehidupan yang dihabiskan tanpa iman tidak menjanjikan
masa depan yang menyenangkan, orang yang berkeimanan pun tidak selalu menjamin
untuk mendapatkannya.
Rasulullah
(saw) memberi kita sejumlah contoh yang patut kita catat.
Seorang
laki-laki yang mati ketika berperang di medan tempur untuk kepentingan Allah
dikatakan bahwa dia bukanlah seorang yang syahid dan tempat dia di neraka
karena dia berperang semata untuk menunjukkan keperkasaan dan kekuatannya.
Seorang
laki-laki yang mati ketika berperang di medan tempur untuk kepentingan Allah
dikatakan bahwa dia bukanlah seorang yang syahid dan tempat dia di neraka
karena dia berperang semata untuk menunjukkan keperkasaan dan kekuatannya.
Dan yang
terakhir, seorang ulama dikatakan bahwa tempat dia adalah di neraka karena dia
menggunakan ilmunya untuk mencari nama dan penghormatan dari masyarakat serta
untuk mata pencaharian.
Jadi, apabila
dianalisa dari perspektif ini...
Orang yang
beriman adalah orang yang bertindak hanya untuk Allah, tanpa mengharapkan
balasan apapun. Semua alasan yang bertentangan dengan ini hanyalah hasil dari
perspektif yang mendua!
Jika kita
belum terkena murka, dan hati nurani kita masih aktif, mari kita pertanyakan
motif-motif dan niat-niat kita! Mari kita panggil diri kita masing-masing untuk
menghitung-hitung amal kita hari ini sebelum kita dipanggil untuk perhitungan
hari esok. Mari kita melihatnya dengan bercermin!
Mari kita
lihat ayat berikut:
“Baik
kalian perlihatkan apa yang ada di dalam hati (pikiran) kalian atau kalian
sembunyikan, Allah akan dimintai pertanggungjawabannya dengan fitur Nama
Hasib.”
Mari
bersikap jujur karena Allah dan tidak menyembunyikan kesalahan-kesalahan yang
dengannya kita merasa nyaman! Hendaklah tidak melupakan bahwa: apapun yang kita
miliki hari ini, kita akan kehilangan itu hari esok. Pantaskah kita mengejar
hal-hal kecil dan sementara dengan mengorbankan kebahagiaan yang kekal?
Terutama
jika kita berdiam diri tentang kebenaran yang kita ketahui dan memilih menutup
mata terhadap kesalahan-kesalahan orang lain karena itu tidak berkaitan dengan
tujuan pribadi kita...? Cukup kuatkah kita untuk menghadapi akibat-akibatnya?
Bagaimana kita mesti membayar karena membiarkan kelemayuh menyebar dalam
kehidupan orang-orang yang kita cintai hanya karena kita memilih diam dan
menutup mata terhadap kesalahan besar mereka, karena kita merasa nyaman atau
karena keuntungan-keuntungan jangka pendek kita?
Sungguh,
hasil alami dari memiliki iman adalah dapat hidup untuk kepentingan Allah,
meskipun harus kehilangan dunia! Dengannya akan membuat orang melawan semua
keganjilan untuk menyelamatkan orang-orang yang dicintai dari api neraka.
Jika
seseorang tercerabut dari cahaya iman, dia hanya akan hidup untuk kenyamanan
sehari-hari, dan tidak akan memikirkan kondisi-kondisi kehidupan yang menanti
dia di akhirat. Satu-satunya tujuan dia adalah menghasilkan pendapatan yang
lebih banyak dan lebih sibuk dengan kesenangan-kesenangan duniawi. Dia akan
mengorbankan segalanya dan siapapun untuk itu, bahkan orang-orang yang paling
dia sayangi.
Kita semua
nampaknya berpikiran bahwa Dajjal adalah manusia bermata satu yang akan datang
di akhir jaman, tanpa menyadari bahwa kita semua rentan menghadapi energi
perusak ini di dalam kehidupan kita sehari-hari!
Dajjal
adalah dunia material yang memalingkan kita dari Allah dan kekhalifahan kita.
Menggunakan otak kita untuk kesenangan-kesenangan dunia ini sama dengan memilih
surganya Dajjal, sedangkan menyiapkan diri kita untuk kehidupan akhirat, yakni
hidup untuk kepentingan Allah dan untuk mengalami realitas kekhalifahan sama
dengan memilih nerakanya Dajjal.
Baik
keyakinan maupun ketidakyakinan membentuk pandangan kehidupan yang memungkinkan
cara tertentu untuk mengevaluasi, yang mengarah kepada cara tertentu untuk
bertindak dan secara alami menimbulkan hasil-hasil tertentu.
Mari
mengingat hadits berikut:
“Allah
telah menciptakan sebagian manusia untuk surga… Allah telah menciptakan
sebagian lainnya untuk neraka… Pena sudah kering... Masing-masing orang akan
dituntun untuk mencapai apa yang telah dituliskan baginya!”
Maka dari
itu kawan, semua bentuk keimanan, disamping keimanan kepada Allah sebagaimana
disingkapkan oleh Rasulullah (saw), adalah berdasarkan pada tindakan-tindakan
yang diwajibkan yang didorong oleh harapan akan kehidupan akhirat.
Dengan
menerapkan ini, orang-orang mengaku sedang menjalankan perbuatan-perbuatan
sebagai Muslim, tapi menurut Al-Qur’an mereka belum beriman!
Orang-orang
yang keimanannya berada dalam lingkup huruf B dan secara alami menjalankan
ketentuan-ketentuan kekhalifahan mereka ‘karena Allah’ adalah yang
sebenar-benarnya beriman. Mereka pun berbeda-beda tingkatan, yang paling rendah
di antaranya adalah yang disebut ‘diri yang tenang’ (nafsi muthmainnah).
Setiap
orang dengan mantap bergerak ke arah tujuan penciptaan mereka, sadar ataupun
tidak sadar! Sebagian dari kita menanam benih-benih mawar, dan sebagian dari
kita menanam benih-benih widuri; Sebagian dari kita berharap bunga mawar tumbuh
dari benih-benih widuri meskipun jelas-jelas telah bertentangan!
Tidak ada
ruang bagi alasan di dalam sistem Allah; masing-masing secara otomastis akan
menjalani akibat dari perbuatan-perbuatan dan evaluasi-evaluasi mereka.
Jika
pikiran-pikiran mengenai masa depan membuat kita menderita hari ini, maka kita
pasti menderita di masa depan itu.
Mereka
yang tidak dapat mengevaluasi realitas dari syafa’at tidak berhak untuk
memiliki harapan apapun!
Ahmed Hulusi
19.7.98
NJ – USA
Tidak ada komentar:
Posting Komentar