“Orang-orang
Arab Badui itu (yang hidup berdasarkan pengkondisian, dengan jahil sebagai
suku-suku dan kelompok) berkata, ‘Kami telah beriman’... Katakanlah, ‘Kalian
tidak beriman!’ Katakanlah, ‘Kami berserahdiri (menjadi Muslim)’! Karena iman
belum nyata dan terbentuk di dalam kesadaran kalian! Jika kalian menaati Allah
dan RasulNya, (Allah) tidak akan mengurangi apapun dari amal kalian... Sungguh,
Allah itu Ghafur lagi Rahim.
“Orang-orang
yang beriman adalah mereka yang beriman kepada Allah, yang telah menciptakan
wujud mereka dengan Nama-namaNya, dan beriman kepada RasulNya, dan tidak
menjadi ragu serta berjuang di jalan Allah dengan harta dan jiwanya! Mereka lah
orang-orang yang benar (yang membenarkan realitas dengan jiwa mereka)!”
“Hai
orang-orang yang beriman... Mengapa kalian mengatakan apa yang tidak kalian
kerjakan!
Mengatakan
hal yang kalian sendiri tidak mengamalkannya menimbulkan murka besar di sisi
Allah!”
“Kerabat
ataupun anak-anak kalian tidak akan pernah bermanfaat bagi kalian! Selama Hari
Kiamat mereka akan menyebabkan pemisahan! Allah itu Bashir akan apa yang kalian
kerjakan.”
“Apakah
kamu tidak melihat orang-orang yang berteman dengan kaum yang menimbulkan murka
Allah? Mereka bukanlah bagian dari kalian ataupun mereka; namun meskipun
mengetahui hal ini, mereka bersumpah atas kebohongan.”
“Baik
harta maupun anak-anak mereka tidak berguna bagi mereka terhadap apa yang akan
mendatangi mereka dari Allah! Mereka adalah para penghuni Neraka. Dan mereka
akan tinggal di sana selama-lamanya.
“Saatnya
akan tiba dan Allah akan membangkitkan mereka semua, dan mereka akan bersumpah
kepada Allah sebagaimana mereka bersumpah kepadamu, berpikiran bahwa mereka
memiliki landasan. Camkanlah, mereka itu benar-benar pendusta!”
Mari
kita renungkan ayat-ayat di atas...
Ayat
pertama membuat jelas bahwa sekedar menyatakan “Saya beriman” karena Anda
memiliki pengetahuan keimanan dan menerapkan ketentuan-ketentuan sebagai
seorang Muslim tidak berarti bahwa Anda seorang yang beriman. Bahkan, orang
semacam itu bisa saja tidak beriman sama sekali, karena tindakan-tindakannya
bisa saja dilakukan dengan keraguan dan pengingkaran. Yakni, seseorang bisa
saja menunjukkan tindakan-tindakan yang bertentangan dengan perasaan dan
keyakinan sebenarnya untuk beradaptasi dengan lingkungan, karena kesantunan
atau hanya karena tujuan pribadi. Bisa saja dia memilih bermuka-dua dan munafik
bukannya mengungkapkan perasaan yang sebenarnya!
Rumi
mengatakan, “Tampillah apa adanya atau jadilah dirimu sendiri”...
Lebih
mudah dikatakan daripada melakukannya – konsekuensi-konsekuensi dari mengejar
prinsip ini bisa besar sekali.
Hanya
sedikit yang benar-benar beriman kepada Allah yang mau mengambil risiko ini –
yakni orang-orang yang tidak takut kehilangan apapun! Karena orang-orang
semacam itu hidup hanya untuk Allah, tidak berharap apapun dari orang lain.
Orang-orang semacam itu telah kehilangan segalanya, mendahului orang lain yang
mau tidak mau juga akan mengalaminya di masa yang akan datang.
Mereka
hanya berkumpul dan berbicara satu sama lain untuk kepentingan Allah! Sedangkan
orang-orang yang tidak sanggup dengan ini akan memilih menjauhi mereka,
berpaling kepada Rabb-rabb yang mereka asumsikan, yang akan meninggalkan mereka
selama Hari Kiamat. Keadaan ditinggalkan Allah inilah, yang didefinisikan
sebagai ‘murka Allah’, yang akan menjadi penderitaan mereka. Inilah mengapa
menjadi penting untuk tidak menasehatkan apa yang tidak Anda amalkan. Jika Anda
mengaku sebagai orang yang beriman, maka Anda harus menjalani konsekuensinya!
Jika
Anda mengaku sebagai orang yang beriman, maka Anda mesti mengedepankan
tindakan-tindakan yang perlu dan mematuhi ketentuan-ketentuannya.
Jika
Anda tidak menerapkan praktek-praktek yang diharuskan oleh agama Anda dan tidak
menjalaninya dengan pandangan dan sikap sebagai orang yang beriman, maka Anda
pada dasarnya sedang enipu diri Anda sendiri.
Tipu-daya
ini tidak akan bermanfaat bagi Anda di masa yang akan datang.
Tindakan
Anda mencerminkan niat Anda – baik karena (untuk kepentingan) Allah ataupun
bukan.
Semua
hubungan yang tidak karena Allah pasti berakhir dan mengakibatkan penyesalan di
suatu hari.
Tapi
apa sih makna dari ‘karena (untuk kepentingan) Allah’?
Yaitu
bersikap jujur kepada diri Anda sendiri; menjalani hidup dengan realitas esensial
Anda!
Yaitu
menjalani hidup dengan moral-moral Allah dan mengevaluasi segala hal dan
keberadaan berdasarkan realitas Allah.
Yaitu
berjuang membantu orang lain menuju Allah sehingga rida Allah menjadi nyata
pada mereka.
Hubungan
karena Allah berarti bergaul dengan orang yang mempunyai tujuan yang sama
dengan tujuan jalan ini.
Terkena
murka ilahi tidak lain adalah menjadi buta terhadap Allah sebagai realitas
esensial diri! Mendapat murka Allah adalah terbakar di neraka di masa yang akan
datang; maka, orang yang tidak bisa melihat murka yang sedang dialaminya
merupakan indikasi yang jelas akan hal ini. Siapa yang mengalami murka yang
lebih dibanding orang yang asing dengan realitas Allah di dalam esensi dirinya?
Kegagalan untuk mengenal dan menjalani hal ini merupakan siksaan dan hukuman
paling besar yang bisa dialami seseorang.
Maka,
sebagai rangkuman, hidup karena Allah merupakan keharusan alami dan hasil dari
menjadi orang yang beriman, jika kita telah diberkati keimanan! Karenanya, kita
mesti menanggalkan semua bentuk kemunafikan, menjalani dan menasehatkan
kebenaran, dan bersabar dengan hasilnya. Kita mesti menahan diri dari
mendakwahkan hal yang kita sendiri tidak mengamalkannya! Kita tidak boleh
mengikuti lingkungan sekitar kita dengan mengorbankan keimanan kita! Kita tidak
boleh mempertuhankan apa-apa yang memberi kita kesenangan-kesenangan jasmani
dan emosional, melainkan hidup dengan prinsip-prinsip keimanan kita kepada
Allah, sebagaimana kita diingatkan oleh ayat:
“Yang
ada di sisi Allah lebih baik dibanding hiburan dan perniagaan... Allah adalah
sebaik-baik pemberi!”
Ahmed Hulusi
12.7.98
New Jersey – USA
Tidak ada komentar:
Posting Komentar