Puisi karya: Jalaluddin Rumi
Apabila ada yang mengatakan kepada janin di rahim, ”Di luar sana ada sebuah dunia yang teratur,
Sebuah bumi yang menyenangkan, penuh kesenagan dan makanan, luas dan lebar;
Gunung, lautan, dan daratan, kebun buah-buahan mewangi, sawah dan ladang terbetang,
Langitanya sangat tinggi dan berbinar, sinar mentari dan cahaya bulan serta tak terkira banyaknya bintang;
Keajaibannya tak terlukiskan: mengapa kau tetap tinggal, mereguk darah, di dalam penjara yang kotor lagi penuh penderitaan ini?
Janin itu, sebagaimana layaknya, tentua akan berpaling tak percaya sama sekali; karena yang buta tak memiliki imajinasi.
Maka, di dunia ini, ketika orang suci menceritakan ada sebuah dunia tanpa bau dan warna,
Tak seorang pun di antara orang-orang kasar yang mau mendengarkannya: hawa nafsu adalah sebuah rintangan yang kuat dan perkasa –
Begitupun dengan hasrat janin akan darah yang memberinya makanan di tempat yang hina
Merintanginya menyaksikan dunia luar, selama ia tak mengetahui makanan selain darah semata.
Dukacita Kematian
Puisi karya: Jalaluddin Rumi
Pangeran umat manusia (Muhammad) sungguh mengatakan bahwa tak seorang pun yang meninggalkan dunia ini
Merasa sedih dan menyesal karena telah mati; sebaliknya, dia bahkan sangat menyesal karena telah kehilangan kesempatan,
Seraya berkata pada dirinya, ”Mengapa tak kujadikan kematian sebagai tujuanku – kematian sebagai gudang menyimpan segala keberuntungan dan kekayaan,
Dan mengapa, karena tampak ganda, aku tambatkan hidupku pada bayang-bayang yang mudah lenyap dalam sekejap?”
Dukacita kematian tiada hubungannya dengan ajal, karena mereka asyik dengan wujud keberadaan yang menggejala
Dan tak pernah memandang seluruh buih ini bergerak dan hidup karena Sang Lautan.
Bila Sang Lautan telah menepiskan buih ke pantai, pergilah ke kuburan dan lihatlah mereka!
Tanyakan kepada mereka, ”Di manakah arus gelombangmu kini?” dan dengarlah jawaban bisu mereka, ”Tanyakan kepada Sang Lautan, bukan kepada kami”.
Bagaimana buih dapat melayang tanpa ombak? Bagaimana debu terbang ke puncak tanpa angin?
Bila kaulihat debu, lihatlah pula Sang Angin; bila kau lihat buih, lihat pula Sang Samudra Tenaga Penciptan.
Mari, perhatikanlah, karena pernglihatan batinlah satu-satunya yang paling berguna dalam dirimu: selebihnya adalah keping-keping lemak dan daging, pakaian dan pembungkus (tulang dan nadi).
Leburkanlah seluruh tubuhmu ke dalam Penglihatan Batin: lihat, lihat, lihatlah!
Sekilas hanya sampai pada satu dua depa jalan; pandangan cermat akan alam duniawi dan spiritual menyampaikan kita pada Wajah Sang Raja.
Perkawinan
Puisi karya: Jalaluddin Rumi
Betapa bahagia saat kita duduk di istana, kau dan aku,
Dua sosok dan dua tubuh namun hanya satu jiwa, kau dan aku.
Harum semak dan senandung burung ’kan menebarkan pesona
Pada saat kita memasuki taman, kau dan aku.
Bintang-bintang nan beredar sengaja menatap kita lama-lama:
Bagi mereka kita ’kan jadi bulan, kau dan aku.
Kau dan aku, yang tak terpisahkan lagi, ’kan menyatu dalam kenikmatan puncak,
Bercanda ria serta bebas dari percakapan dungu, kau dan aku.
Burung-burung yang terbang di langit ’kan menatap iri
Karena kita tertawa riang gembira, kau dan aku.
Sungguh ajaib, kau dan aku, duduk di sudut yang sama di sini,
Pada saat yang sama berada di Irak da khurasan, kau dan aku.
Cinta Dalam Ketiadaan
Puisi karya: Jalaluddin Rumi
Betepa tak kan sedih aku, bagai malam, tanpa hari-Nya serta keindahan wajah hari terang-Nya
Rasa pahit-Nya terasa manis bagi jiwaku, semoga menjadi korban bagi kekasih yang membuat pilu hatiku!
Aku sedih dan tersiksa karena cinta demi kebahagiaan Rajaku yang tiada bandingnya.
Titik air mata demi Dia adalah Mutiara, meski orang menyangkal sekedar air mata.
Kukeluhkan jiwa dari jiwaku, namun sebenarnya aku tidak mengeluh aku cuma berkisah.
Hatiku bilang tersiksa oleh-Nya, dan kutertawakan seluruh dalihnya.
Perlakukanlah aku dengan benar, oh Yang Maha Benar, o Engkaulah mimbar agung dan akulah ambang pintu-Mu!
Di manakah sebenarnya ambang pintu dan Mimbar Agung itu? di manakah sang Kekasih, di manakah "kita" dan "aku"?
Oh Engkau, Jiwa yang bebas dari "kita" dan "aku", oh Engkaulah hakikat ruh lelaki dan wanita.
Ketika lelaki dan wanita menjadi satu, Engkaulah yang satu itu; ketika bagian bagian musnah, Engkaulah kesatuan itu.
Engkau ciptakan "aku" dan "kita" supaya memainkan puji-pujian bersama diri-Mu,
Hingga seluruh "aku" dan "Engkau" dapat menjadi satu jiwa serta akhirnya lebur dalam sang Kekasi.
Jalan Tasawuf
Puisi karya: Jalaluddin Rumi
Sumbatlah telinga nafsumu, yang bagai kapas menutupi kesadaranmu dan membuat tuli telinga batinmu.
Jadilah dirimu tanpa tanpa telinga, tanpa rasa, tanpa kesadaran, dan dengarkanlah seruan Tuhan,
"Kembalilah!"
Atas perjalanan lahir, kata dan tindakan kita, Di atas langitlah perjalanan batin kita
Tubuh berjalan di atas jalannya yang berdebu, Ruh berjalan, bagai Yesus, di atas lautan.
Manusia Ilahi
Puisi karya: Jalaluddin Rumi
Puisi karya: Jalaluddin Rumi
Memuji dan memuliakannya adalah menggunakan Tuhan; Buah
Ilahi tumbuh dari hakikat dasar baki ini.
Apel tumbuh dari keranjang ini dengan berbagai kehalusan
ragam: bukanlah keburukan bila engkau menyebutnya dengan nama “pohon” .
Sebutlah keranjang ini “Pohon-Apel”, karena diantara
keduanya ada perpaduan tersembunyi.
Anggaplah keranjang ini pohon keberuntungan dan duduklah
dengan tenang di bawah naungannya.
Tempayan Spiritual
Puisi karya: Jalaluddin Rumi
Puisi karya: Jalaluddin Rumi
Kebenaranmu tersembunyi dalam dusta, lakasana rasa mentega
tersembunyi dalam dadihnya.
Dustamu adalah tubuh yang fana ini; kebenaranmu adalah ruh
Ilahiah.
Bertahun-tahun dadihlah yang tinggal dalam pandangan, sementara
menteganya hilang bagai tak pernah ada,
Sampai Tuhan mengirim utusan, seorang hamba pilihan, untuk
menggoncang dadih dalam tempayan
Menggoncangkannya dengan metode dan keterampilan, serta
mengajariku bahwa diriku yang sebenarnya tersembunyi.
Dadih telah basi: jagalah, jangan biarkan ia mengalir sampai
kau sadap mentega dari padanya.
Ubahlah ia secara terampil, sampai ia dapat mengungkapkan
rahasianya.
Kefanaan tubuh adalah bukti keabadian ruh: berkeliarannya
pemabuk yang bersuka-ria membuktikan adanya pembawa cawan.
Nyanyian Seruling Bambu
Puisi karya: Jalaluddin Rumi
Puisi karya: Jalaluddin Rumi
Dengarkan nyanyian sangsai Seruling Bambu mendesah selalu,
sejak direnggut dari rumpun rimbunnya dulu, alunan lagu pedih dan cinta
membara.
“Rahasia nyanyianku, meski dekat, tak seorang pun bias
mendengar dan melhat.
Oh, andai ada teman tahu isyarat, mendekap segenap jiwanya
dengan jiwaku
Ini nyala cinta yang membakarku, ini anggur cinta
mengilhamiku
Sudilah pahami betapa para pecinta terluka, dengar,
dengarkanlah rintihan seruling”
Musik Kenangan
Puisi karya: Jalaluddin Rumi
Puisi karya: Jalaluddin Rumi
Dikisahkan seruling dan kecapi yang menawan telinga kita
Nadana berasal dari perputaran angkasa; namun iman yang
melampaui lompatan spekulasi, dapat mengerti merdunya setiap suara yang tak
serasi
Kami, hanya bagian dari Adam, bersamanya mendengarkan
Nyanyian para malaikat dan muqarrabin, meski tumpul dan
menyedihkan ingatan kami
Masih menyimpan alunan nada surgawi
Oh, musik adalah hidangan para pecinta, musik kan melambungkan jiwa kedunia sana.
Bara berpijar, api abadi pun kian berkobar; sembari
menikmati dengan suka-ria kami pun dengar.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar