Karena manusia tidak bisa mengetahui jagat
raya dengan kelima inderanya karena dia hanyalah bagian dari jagat raya yang
dilihatnya, dan karena segala sesuatu di jagat raya ini terdiri dari beragam
frekuensi gelombang yang mewujudkan beragam makna, maka apa sih sebenarnya
manusia itu?
Menurut mereka yang dapat melampaui apa
yang sekedar bisa dilihat oleh mata dan kembali kepada esensi mereka, yang dapat
menjebol batasan data berbasis kelima-indera dari otak mereka dan berpikir
secara komprehensif kearah esensi universal dengan mengingat sains dan
intuisi... Setiap unit keberadaan di jagat raya mengandung dalam dirinya semua
nilai dari esensi universal, berdasarkan susunannya, perangkat-perangkat
persepsi serta tingkat wujudnya. Selama unit-unit ini, yang membawa esensi
universal, terus ada pada tingkatan yang dibentuk oleh persepsi mereka, tingkat
wujud itu akan nampak sebagai ‘materi,’ sementara semua tingkatan lainnya tidak
wujud karena kurangnya kapasitas persepsi mereka.
Karena segala sesuatu di jagat raya
berasal dari sumber yang sama, baik kita menyebutnya sebagai Keuatan Kreatif
ataupun Kesadaran Murni, kekuatan dan ilmu universal ini wujud secara holografik
dalam setiap iota dari setiap unit keberadaan di jagat raya.
Jika kita dapat mengenyampingkan persepsi
dari beragam bentuk yang tak terhitung ini, yang mengandung esensi yang sama
meskipun dengan komposisi-komposisi yang berbeda, dan memandangnya dari satu
titik persepsi tunggal, yang mencakup semua titik persepsi lain, kita dapat
melihat dunia bentuk dari segi esensinya dan melihat bahwa tidak ada yang wujud
selain Yang Esa – yang hidup-kekal, tak hingga, tak berbatas dan kuasa, dengan
apapun kita menyebut Kesatuan ini.
Karena kajian ilmiah jaman sekarang tidak
dikenal di abad-abad sebelumnya, manusia jaman lampau yang mampu kembali kepada
esensinya dan mampu melihat melampaui kelima inderanya mampu mencapai
kebenaran-kebenaran ini; namun demikian, mereka mengekspresikannya dalam bahasa
mereka, dengan menggunakan simbol-simbol dan metafora-metafora.
Ketika mereka menyatakan, ‘Jagat raya
terdiri dari Ruh tunggal’, ‘segala sesuatu wujud dan hadir dengan Ruh tunggal
ini’ dan ‘manusia tidak perlu mencari Ruh ini di luar dirinya karena ia hadir di
dalam dirinya,’ mereka tidak difahami oleh orang-orang yang realitasnya hanya
berdasarkan kepada penglihatan mata fisik.
Karena jagat raya pada hakikatnya
merupakan satu kesadaran tak hingga dan setiap unit hadir dengan ilmu dan
kekuasaan yang melekat, manusia hanya bisa sampai kepada kebenaran jagat raya
melalui dirinya sendiri; esensi dan kesadarannya sendiri.
Apakah kita sampai kepada keseluruhan atau
datang dari keseluruhan, prioritasnya selalu keseluruhan. Jika Anda tidak
mengetahui keseluruhan, Anda tidak akan bisa sampai kepada yang tidak Anda
ketahui. Jika Anda tidak mengetahui keseluruhan, Anda tidak bisa datang dari
keseluruhan. Maka, hal pertama yang mesti anda lakukan, dalam hal apapun, adalah
mengenal keseluruhan.
Jika pengalaman kita akan halnya materi
hanya pada tingkat wujud yang bergantung kepada persepsi kelima indera kita,
maka setiap saat alat persepsi kita berubah, apa yang kita sebut sebagai materi
pun berubah pula. Dan karena kesadaran kita lah yang menentukan hal ini, maka
jelaslah bahwa kesadaran bukanlah materi.
Kesadaran bukanlah materi; ia merupakan
suatu panjang-gelombang dengan frekuensi yang tidak diketahui yang mengandung
esensi universal, yang pada titik ini kita tidak sanggup untuk memahaminya dan
mengevaluasi.
Berdasarkan kebenaran ini, kita bukan
sekedar satu di antara triliunan manusia yang terdiri dari daging dan tulang
yang hidup di salah satu planet di antara triliunan planet lainnya di salah satu
galaksi di antara milyaran galaksi lainnya – menurut penglihatan kita –
melainkan merupakan sebuah frekuensi unik dari esensi dan kesadaran
universal.
Jadi, segala sesuatu yang kita definisikan
sebagai materi melalui filter kelima indera kita tidak lain hanyalah struktur
radial yang terdiri dari beragam frekuensi. Di jaman dahulu, orang-orang merujuk
kepada kesadaran universal ini, yang hadir secara holografik di setiap iota
perwujudan, sebagai ‘ruh’.
Mengingat hal ini, kematian bagaimanapun
juga tidak berarti menjadi tiada; ia merupakan lompatan kesadaran seseorang dari
alam materi ke alam radial holografik atau peralihan ke alam ruh, jagat raya
radial dimana tubuh radial holografik akan hidup untuk jangka waktu yang tidak
terbatas sesuai dengan kapasitas yang telah dicapainya.
Ahmed Hulusi
Sumber: http://www.ahmedhulusi.org/id/articles/esensi-universal-kita.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar